Karya :
Ahmad Fitriyadi Sari
Telah rebah tubuhmu ke dalam tanah,
namun ruh perjuanganmu tak ikut pasrah.
Kami meraba jejakmu di antara waktu,
seperti membaca cahaya di balik kabut rindu.
Engkau tak lagi hadir dalam bentuk,
tapi hadirmu menembus setiap sudut.
Di ruang sunyi dan doa yang lirih,
namamu jadi zikir yang tak pernah letih.
Kami tumbuh dari petuahmu yang tulus,
menjadi pohon yang tak takut angin menderu.
Engkau adalah akar dari semua harap,
yang menanam keberanian di hati yang rapuh.
Tak perlu patung, tak perlu tugu,
cukup kenangan yang jujur dan syahdu.
Karena engkau adalah sejarah yang hidup,
yang ditulis dengan kasih, bukan tinta.
Banyak bicara, tapi tak sebijak diam-mu.
Banyak pemimpin, tapi tak seteduh langkah-mu.
Kau tak minta dipuja, tak haus pujian,
cukup memberi, lalu pergi dalam keikhlasan.
Kini kami terus berjalan di tapakmu,
belajar bahwa hidup bukan sekadar waktu.
Tapi tentang arti yang kita tinggalkan,
tentang cinta yang kita sebarkan.
Bait-baitmu tetap bernyanyi dalam dada,
seperti lagu lama yang tak pernah pudar maknanya.
Engkau mengajarkan: mati bukanlah akhir,
jika hidup pernah berarti bagi sesama.
Setiap sore kami kirimkan doa,
seperti burung-burung yang pulang ke langit-Nya.
Semoga damai di sisi-Nya kau temui,
sebagaimana damai yang kau beri semasa di bumi.
Kami tahu, tak ada yang abadi,
kecuali kebaikan yang tulus dan murni.
Dan engkau, adalah bukti nyata,
bahwa hidup bisa sederhana, tapi luar biasa.
Tidurlah tenang, wahai jiwa mulia,
namamu hidup dalam langkah dan cita.
Selama bumi masih berputar setia,
inspirasimu tetap menyala di dada kami semua.