Oleh: Dr. Dadan Sunandar, Lc., M.A.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk merespon dan menjawab syubuhat-syubuhat seputar Al-Qur’an yang secara masif terus berkembang dan marak melalui buku dan artikel akademik yang terbit. Metode yang digunakan adalah metode penelitian jenis kualitatif melalui studi pustaka, dengan menghimpun sumber kepustakaan, baik primer maupun skunder, dan melakukan klasifikasi data berdasarkan formula penelitian. Hasil dari penelitian ini ditemukan, bahwa upaya dekontruksi yang terjadi dan berlangsung terhadap Al-Qur’an itu justru membuat eksistensi Al-Qur’an tetap muncul sebagai kitab suci yang absolut, murni dan otentik sebagaimana ketika pertama kali turun. Hal itu didasarkan keyakinan bahwa Allah menjamin terpeliharanya Al-Qur’an, إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون, sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya pasti kami pula yang memliharanya.
Kata kunci: Syubhat, Orientalis, dan Al-Qur’an
Pendahuluan
Dalam pandangan umat Islam, Al-Qur’an adalah kitab suci yang kesucian dan keotentikannya adalah harga mati. Al-qur’an merupakan perkataan Allah dari surat Al-Fatihah sampai surat An-Nass, yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw baik secara lafadz atau secara makna melalui malaikat Jibril, yang disampaikan secara mutawattir, terjaga dan tanpa keraguan sedikitpun, di dalamnya terkandung wahyu ilahi, mu’jizat, petunjuk, pedoman, ilmu pengetahuan dan pelajaran bagi siapa yang mempelajari dan mengamalkannya, bukan hanya itu saja tetapi juga Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan Allah berisi pokok pokok syariah yang merupakan penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya.
Melalui pernyataan di atas bahwa dalam kacamata Islam, Al-Qur’an merupakan harga mati, maka wajar dan tidak mengherankan apabila ada upaya dan usaha perusakan yang muncul melalui proyek proyek mendekontruksi ulang Al-Qur’an dan menjauhkan pemeluknya dari pemahaman yang selama ini disepakati oleh seluruh umat Islam. Sebetulnya, upaya dekontruksi Al-Qur’an itu bukanlah hal yang baru sebagai strategi penghancuran pondasi-pondasi dalam keislaman, wacana dekontruksi itu dari masa ke masa selalu kita temukan dengan karakteristik dan model yang sama.
Terlepas dari berbagai upaya dekontruksi yang terjadi berlangsung lama, kenyataannya, bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang otentik sebagaimana pertama kali diturunkan. Hal itu karena memang ada anasir yang menjaga kemurnian dan kesucian Al-Qur’an yang diantaranya; 1) Hafalan dari para penghafal Al-Qur’an, 2) Naskah Al-Qur’an yang ditulis untuk Nabi, 3) Naskah Al-Qur’an yang ditulis oleh para sahabat, 4) Janji Allah yang menjaga kesuciannya, inna nahnu nazzalna adz zikra wa inna lahu lahafidzun, sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Al-Qur’an telah dijaga”.[1]
Nampak jelas, ada jaminan dalam ayat tersebut, bahwa apa yang dibaca dan didengarkan dari Al-Qur’an adalah sama dengan apa yang telah pernah dibaca oleh Nabi dan didengar oleh para sahabat Nabi. Namun, keyakinan tentang ketetapan Allah yang menurunkan Al-Qur’an dan juga Allah yang menjaganya mulai terusik ketika para orientalis melakukan berbagai upaya kajian yang hasilnya menggulirkan keraguan terhadap teks Al-Qur’an, dan ironisnya, tidak sedikit dari kalangan cendikiawan muslim yang terpengaruh dengan kajian orientalis tersebut, yang berakibat tepecah belah keyakinan umat terhadap kesucian dan keotentikan Al-Qur’an. Fokus utamanya ketertarikan orientalis terhadap kewahyuan (Al-Qur’an) adalah dendam dan keinginan mereka menjauhkan umat islam dari Al-Qur’an, yang pada akhirnya menghasilkan umat islam yang bimbang, skeptis dan lupa jati dirinya. Dengan begitu, yang awalnya wahyu yang memandu ilmu, diganti menjadi ilmu yang memandu wahyu.
Salah satu tokoh kajian orientalis terhadap Al-Qur’an ialah Arthur Jeffery, yang dikenal sebagai ahli sejarah timur tengah dan professor bahasa semit di School of Oriental Studies di Kairo. Sebelum hadirnya Arthur, ada Theodore Noldeke, Rev Mingana, Snouck Hurgronje, Goldziher. Ada 3 jalur yang digunakan oleh para orientalis dalam menjalankan strategi untuk melemahkan keotentikan Al-Qur’an sebagai berikut; 1) Melalui paleografi, yaitu menggunakan manipestasi dari bahasa tulis dengan memperhatikan abjadnya, 2) Melalui ortografi, yaitu melalui manipestasi bahasa ejaan yang berlaku dalam masing-masing dialek, 3) Melalui materi dan substansi yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Terdapat penelitian yang sudah dilakukan oleh M Agus Kurniawan dengan judul “Menjawab Syubuhat terhadap Al-Qur’an” yang hasil penelitiannya berfokus pada jawaban terhadap kekeliruan para orientalis tentang mushaf usmani yang menurut mereka bahwa Al-Qur’an yang ada sekarang ini sejatinya telah mengalami berbagai perubahan (tahrif) yang dibuat oleh sahabat Utsman, penelitian terdahulu lainnya oleh Fathin Masyhud dengan judul “Keotentikan Bahasa Arab dalam Al-Qur’an (Bantahan atas tuduhan terhadap inkonsistensi redaksi Al-Qur’an) ” yang hasil penelitinnya tentang kebahasaan yang terfokus pada lima aspek yaitu 1) Aspek Laksikal (syubhat Nahwiyyah), 2) Aspek Morfologis (Syubhat Sharfiyah), 3) Aspek Semantik (Syubhat Dalaliyah), 4) Aspek Retorik (Syubhat Balaghiyyah), dan 5) Aspek Tulisan (Syubhat Rasmiyah). Dari kedua penelitian terdahulu itu berbeda berdasarkan fokus pembahasannya, sedangkan yang menjadi persamaan di antara kedua penelitian terdahulu ini yaitu sama-sama membahas dan menjawab tuduhan-tuduhan terhadap Al-Qur’an.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan jenis kualitatif melalui studi pustaka dengan pendekatan analisis isi. Dimana tahapan penelitian dilaksanakan dengan menghimpun sumber kepustakaan, baik primer ataupun skunder, kemudian melakukan klasifikasi data berdasarkan formula penelitian. Pada tahap berikutnya, melakukan pengolahan data atau pengutipan referensi untuk ditampilkan sebagai temuan penelitian, diabstraksikan, diinterpretasi hingga menghasilkan pengetahuan untuk penarikan kesimpulan. Adapun pada tahap interpretasi digunakan analisis atau pendekatan filofis, teologis, tafsir, syarah dan lain-lain.
Pembahasan dan Hasil Penelitian
- Pengertian Syubhat
Syubhat (شبهة – شبهات) diambil dari akar kata syabbaha-yusyabbihu (شبه – يشبه) yang memiliki arti menyamakan atau menyerupai. Kata syubhat dalam definisi terminologi diartikan dengan “keadaan serupa, sama, atau keadaan gelap, kabur, samar, tidak jelas”, juga diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan perkara yang tidak jelas samar kehalalan dan keharaman.[2] Syubhat diartikan juga dengan al-misl (المثل) yang artinya mirip atau sama.[3] Menurut Al-Jurjani penulis kitab al-Ta’rifat mengartikan Syubhat sebagai sesuatu yang tidak dapat dipastikan statusnya.[4]
Adapun menurut istilah, Imam Ghazali mengatakan syubhat adalah terjadi sesuatu yang samar-samar disebabkan karena tidak ada kejelasan dalil dan tidak jelas kehalalan untuk menerapkan dalil yang ada terhadap sesuatu peristiwa atau perbuatan.[5] Dengan demikian syubhat merupakan sesuatu perkara yang berada antara dua kemungkinan; halal atau haram, yang tidak diketahui apakah betul-betul halal atau betul betul haram, atau sesuatu yang masih samar apakah telah menjadi ketetapan atau belum.[6] Tetapi dalam hal ini syubhat adalah upaya melemahkan Al-Qur’an dengan cara memunculkan keraguan (syubhat) dan tuduhan-tuduhan negatif terhadap wahyu (Al-Qur’an). Jika ditelaah secara detail, penulis mengamati bahwa ada dua hal yang melatarbelakangi para orientalis menimbulkan keraguan dan tuduhan sebagai berikut;
- Kebencian terhadap Al-Qur’an
Dari generasi ke generasi para orientalis klasik maupun modern selalu berasumsi bahwa Al-Qur’an bukan firman Tuhan, melainkan karangan Muhammad. Tokoh-tokoh orientalis yang menyatakan asumsi batil itu antara lain, A Sprenger, William Muir, Theodor Noldeke, Ignaz Goldziher, W Wellhausen, Leone Caetani, David S Margoliouth, Richard Bell, dan W Montgomery Watt.[7] Hal itu dapat dipahami dalam sejarah konflik keagamaan yang begitu panjang, Kristen versus Islam, yang berakhir dan berujung pada kebencian sebagai akibat dari adanya perang salib. Konsekuensinya, ketika mereka mulai membenci terhadap islam sebagai legislasi Tuhan, maka secara tidak langsung mereka juga benci terhadap kitab suci yang menjadi sumber utamanya bagi umat islam.[8]
- Penilaian negatif terhadap Nabi Muhammad
Kesan negatif (image negative) tentang nabi Muhammad SAW dalam literatur dan kajian barat sudah sangat lama tersebar pada tahun 1120.[9] Nama Muhammad dirubah menjadi “mahound” dimana kata tersebut bila diartikan sebagai pangeran kegelapan atau sebutan nama untuk kejahatan.[10] Dalam buku yang berjudul “Life of Saint Juliana”, Nabi Muhammad dianggap sebagai pelaku “Pembidah Legendaris” yang disetarakan dengan legenda-legenda pelaku bidah dalam tradisi kristen yaitu Simon Magus dan Deachon Nicholas.[11] Selanjutnya dalam karya Arthur Jeffery, dia menganggap Nabi Muhammad sebagai kepala perampok (a Robber Chief) atau sebagai tokoh yang ideal yang serat akan dongeng (an ideal and legendary picture).[12] Secara keseluruhan kajian mereka tentang nabi Muhammad Saw sangat beragam, ada yang mengkaji tentang ke-ummi-an Nabi Saw, tentang karakter atau kepribadian Nabi, dan kajian sejarah hidup Nabi secara umum dilakukannya oleh mereka.
- Pengertian Al-Qur’an
Al-qur’an adalah pedoman hidup. Menurut ulama ushul fiqih dan ulama bahasa Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang lafaz lafaznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf, mulai dari surat Al-Fatihah sampai surat Al-Nas.[13] Dinamai Al-Qur’an karena Allah memang memberi nama tersebut.
فَإِذَا قَرَأْنَٰهُ فَٱتَّبِعْ قُرْءَانَهُ
“Jika kami telah usai membacanya, maka ikutilah bacaannya itu”. (Al-Qiyamah: 18)
Al-Qur’an memiliki dua fungsi utama; pertama fungsinya sebagai sumber ajaran atau hukum, yang kedua sebagai bukti kebenaran kerasulan Nabi Muhammad Saw. Sebagai sumber ajaran, Al-Qur’an memberikan beragam norma keagamaan yang sifatnya transenden, sebagai bukti kebenaran Rasul, Al-Qur’an sejak awal menantang musuh-musuhnya untuk mendatangkan satu ayat saja yang serupa, namun sampai detik ini tidak ada satupun baik dari golongan jin maupun manusia yang mampu menandingi kemukjizatannya. Yang ada bahkan semakin hari semakin terlihat keunggulannya dibandingkan dengan kalam lainnya.[14]
Dalam Al-Qur’an terdapat tujuan dan pesan-pesan untuk kehidupan sebagai berikut:[15]
- Membangun dan meluruskan akidah dan persepsi yang benar tentang ketuhanan, risalah kenabian (kerasulan) dan hari kiamat,
- Mengarahkan manusia kepada penghambaan yang baik kepada Allah Swt dan penyucian diri,
- Menegaskan kemuliaan manusia dan memperhatikan golongan yang lemah
- Membentuk keluarga yang saleh serta memuliakan dan mengangkat kedudukan kaum wanita,
- Membentuk ummat yang unggul,
- Menyeru kepada tatanan global dan kolaboratif.
Dalam sejarah yang sangat panjang tercatat bahwa diantara kemukjizatan dan adanya jaminan dijaganya kesucian Al-Qur’an adalah ketika semakin banyak orang mengkritik Al-Qur’an justru semakin nampak rahasia-rahasia yang belum terungkap dan akan semakin melekat di kalangan kaum muslimin. Ini mungkin yang dimaksud dengan firman Allah:
وَمَكَرُواْ وَمَكَرَ ٱللَّهُ ۖ وَٱللَّهُ خَيْرُ ٱلْمَٰكِرِينَ
Artinya: “Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka. Dan Allah Swt sebaik-baiknya pembalas tipu daya”. (Ali Imran : 54)
- Syubhat Seputar Al-Qur’an
Para orientalis dan musush-musuh islam tidak hanya mencoba satu cara untuk mengkritik Al-Qur’an, mereka akan terus mencoba cara lain dari aspek aspek yang bermacam-macam. Berikut ini kami paparkan beberapa tuduhan mereka terhadap Al-Qur’an:
- Al-Qur’an Belum Menyempurnakan Kitab-Kitab Samawi Sebelumnya
Melalui proyek Al-Qur’an Edisi Kritik (a critical edition of the Qur’an) yang dibuat oleh Arthur Jeffery dan beberapa koleganya, Jeffery berusaha meletakkan kembali surat-surat Al-Qur’an dalam sistematika tertentu karena Al-Qur’an yang ada saat ini menurutnya tersusun secara sembarangan, bahwa Al-Qur’an yang ada saat ini tidak kritis dan belum memuaskan, Al-Qur’an telah terpengaruh oleh bahasa-bahasa asing seperti Ethiopia, Aramik, Ibrani, Syiria, Yunani Kuno, Persia dan lainnya. Jadi kosa kata yang ada mengambil dari istilah-istilah dari yahudi, kristen dan budaya lain.[16]
Sanggahan:
Al-Qur’an sebagai sebuah kitab bukanlah nama dari satuan-satuan terpisah, melainkan nama dari semua yang ada di dalamnya, kumpulan ayat-ayatnya, urutan surat-suratnya, juz-juznya, juga ajaran-ajarannya yang terkandung dari setiap lafal, frasa, dan juga kalimatnya. Dikatakan oleh Al-Suyuthi bahwa susunan Al-Qur’an, mulai dari ayat, kemudian surat dan juz tersebut merupakan ciri kekhasan Al-Qur’an yang tidak terdapat dan tidak ditemukan dalam kitab-kitab lainnya yang ada pada masa jahiliyyah.[17] Adapun adanya kesamaan antara kitab satu dengan kitab-kitab sebelumnya itu merupakan suatu kewajarn dan memang sangat mudah untuk ditemukan. Persamaan kosa kata Al-Qur’an dengan kosa kata bahasa lain tidak bisa dimaknai secara muthlak bahwa Al-Qur’an terpengaruh oleh bahasa bahasa lain. Islam membawa makna baru karena justru mengkritik ajaran Yahudi dan Kristen yang telah terdistorsi.[18]
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُۥ بَشَرٌ ۗ لِّسَانُ ٱلَّذِى يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِىٌّ وَهَٰذَا لِسَانٌ عَرَبِىٌّ مُّبِينٌ
Artinya: “Sungguh, kami benar-benar mengetahui bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepada Muhammad”, padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya adalah bahasa ‘Ajam (bukan bahasa Arab), sedang Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang. (An-Nahl : 103)
Bahasa ‘Ajam adalah bahasa selain Arab, yang diartikan juga dengan bahasa Arab yang tidak baik, Tentu saja banyak faktor yang menyebabkan terpilihnya bahasa Arab sebagai bahasa wahyu ilahi yang terakhir. Faktor-faktor tersebut tentunya antara lain berkaitan dengan ciri bahasa Arab dan tujuan penyebarannya.[19]
- Umat Islam Hanya Percaya Sejarah Pewahyuan Al-Qur’an Merupakan Alasan Klasik dan Tidak Ilmiah.
Mereka mengkritik keyakinan umat muslim yang berdasarkan riwayat, hal tersebut oleh mereka dianggap sebagai alasan ortodok. Mereka juga mengkritisi sejarah pewahyuan dengan manyatakan bahwa kedatangan malaikat Jibril untuk muraja’ah pada Nabi adalah alasan ortodok.[20] Menurut mereka, hal yang harus diperhatikan adalah proses kodifikasi Al-Qur’an yang belum ada pada masa Nabi dan baru dilakukan di masa khalifah sahabat Utsman bin Affan. Dari sini kemudian mereka berpendapat bahwa ada kemungkinan manuskrip pada masa Nabi ada yang tidak terkumpulkan atau hilang. Dalam keyakinannya, semua pembuktian terkait penjagaan Al-Qur’an harus berdasakan bukti valid yang bisa diteliti.
Sanggahan:
Argumen mereka kontradiktif dengan sejarah bahwa dalam catatan sejarah masyarakat Arab pada masa tersebut adalah masyarakat dengan tradisi lisan dan belum banyak yang mampu menulis dengan baik. Sejarah penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an baru dimulai dengan serius pada masa khalifah Usman sehingga akan sulit menemukan manuskrip pada masa Nabi.
Ada dua cara Nabi mengabadikan kitab suci Al-Qur’an sebagai berikut:
- Pengumpulan Al-Qur’an dalam kontek hafalan
Rasulullah Saw amat sangat menyukai wahyu, ia selalu menanti penurunan wahyu, ia menghafal dan memahaminya. Oleh sebab itu Nabi merupakan penghafal pertama yang merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafal. Menurut Manna’ Al-Qathan dikutip dalam bukunya[21], Imam Bukhori mengemukakan tentang tujuah penghafal Al-Qur’an dengan tiga riwayat. Mereka ialah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Maq’il maula Abi Hudzaifah, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Ad-Darda. Penyebutan jumlah para penghafal Al-Qur’an ini tidak berarti pembatasan. Karena dalam catatan sejarah, para sahabat berlomba-lomba dalam menghafal Al-Qur’an. Dari uraian ini jelaslah bagi kita bahwa para penghafal Al-Qur’an di masa Rasulullah sangat banyak jumlahnya dan bahwa berpegang pada hafalan dalam penukilan sesuatu di masa itu merupakan ciri khas umat ini.
- Pengumpulan Al-Qur’an dalam kontek Penulisan
Dalam catatan sejarah Rasulullah mengangkat para penulis wahyu Al-Qur’an dari para sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, Ubay dan Zaid bin Tsabit. Apabila wahyu turun, Nabi memerintahkan mereka untuk menuliskan dan menunjukkan, dimana tempat ayat tersebut dalam surat. Maka penulisan lembaran itu sangat membantu penghafalan di dalam hati. Sebagian sahabat juga ada yang menulis di pelapah kurma, lempengan batu, papan tipis, kulit atau daun kayu dan potongan tulang. Al-Khattabi berkata: “Rasulullah tidak mengumpulkan secara tertib dalam satu mushaf itu karena senantiasa menunggu ayat yang menghapus terhadap sebagian hukum-hukum bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya wahyu dengan wafatnnya Rasulullah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafa’ur Rasyidin sesuai dengan janji-Nya yang benar kepad umat ini tentang jaminan pemeliharaannya”.[22]
Simpulan
Allah Swt berfirman:
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (19).
Artinya: “Janganlah kamu tergesa-gesa menggerakkan lidahmu (untuk mengingat wahyu), sesungguhnya kamilah yang menyuruh kamu menghafalkannya dan membacanya. Maka apabila kami membacanya, ikutilah bacaannya dengan penuh perhatian. Maka kamilah yang menjelaskannya”. (QS Al-Qiyamah : 16 -19)
Ayat di atas memberikan makna yang menyeluruh, umum dan mendalam yang menunjukkan kepada kita bahwa Allah Swt lah yang menanggung Al-Qur’an baik pengumpulannya, penjagaannya, penjelasannya dengan lebih luas, lebih dalam, dan lebih jauh. Baik itu pengumpulan Al-Qur’an itu dalam dada Rasulullah seperti pendapat para Ahli Tafsir atau di dalam mushaf pada masa Rasulullah dan seterusnya hingga hari kiamat atau di dalam hati para penghafal Al-Qur’an dari umat beliau.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali, A. H. (2008). Ihya Ulumiddin. Kairo: Dar al-hadits.
Ali, M. M. (2004). The Qur’an and Orientalist. Oxford: Jam’iyat Ihya Minhaaj Al-Sunnah.
Al-Jurjani, A. M. (2003). Al-Ta’rifat. Bairut: Dar al-Kutub al-Islamiyah.
Al-Qathan , M. K. (2005). Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Anwar, R. (2007). Ilmu Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
Budiono, A. (2021). Moderasi Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an. JADID: Jurnal of Quranic Studies and Islamic Communication.
Fahrizi, N., & Zubir, M. (2022). Historitas dan Otentisitas Al-Qur’an (Studi Komparatif antara Arthur Jeffery dengan Manna’ Al-Qathan. QIST Jurnal if QUr’an and Tafseer Studies, 213.
Jeffery, A. (1958). Islam: Muhammad and His Religion. New York: The Liberal Art Press.
Jeffery, A. (2000). The Quest for The Historical Mohamed. New York: Promethues Books.
Kuwait, K. A. (1992). Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah. Kuwait: Darus Sahofwah.
Mahmud, M. N. (1992). Studi Al-Qur’an dengan Pendekatan Historisme dan Fenomenologi: Evaluasi Terhadap Pandangan Barat tentang Al-Qur’an. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Ma’ruf, L. (1986). Al-Munjid fi al-Lughah al-A’alam. Bairut: Dar al-Masyriq.
Munawir, A. W. (1997). Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Progresif.
Muzayyin, M. (2015). Al-Qur’an Menurut Pandangan Orientalis: Studi Analisis “Teori Pengaruh” dalam Pemikiran Orientalis. Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis, 206-210.
Nasir, M. A. (2006). Orientalis dan Sirah Nabi Muhammad Sa: Sketsa awal kerancuan orientalis dalam kajian islam. ISLAMIA, 33.
Shihab, M. Q. (2014). Mukjizat Al-Qur’an ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib. Bandung: Mizan Pustaka.
Watt, W. M. (1962). The Quest of The Historical Mohamed. Oxford: University Press.
Yani, A. (2020). Tujuan Inti Pesan Wahyu Al-QUr’an. ojs.stiudarulhikmah.ac.id.
[1] QS Al-Hijr : 9
[2] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 692.
[3] Lous Ma’ruf, Al-Munjid fi al-Lughah al-A’alam, (Bairut: Dar al-Masyriq, 1986), hlm. 373.
[4] Al-Jurjani, Al-Ta’rifat, (Bairut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2003), hlm 127.
[5] Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Juz II, (Kairo: Dar al-Hadits, 2008), hlm 128.
[6] Kementrian Agama Kuwait, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz 25, cet 1, Darus Sahofwah, 1992, hlm 338.
[7] Muhammad Mohar Ali, The Qur’an and Orientalist, (Oxford: Jam’iyat Ihya Minhaaj Al-Sunnah, 2004), hlm 2
[8] M Muzayyin, Al-Qur’an Menurut Pandangan Orientalis: Studi Analisis “Teori Pengaruh” dalam Pemikiran Orientalis, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Vol. 16, No. 2, Juli 2015
[9] Muhammad Natsir Mahmud, Studi Al-Qur’an, hlm 41
[10] W Monggomery Watt, The Quest of the Historical Mohamed, (Oxford: University Press, 1962), hlm 2 dan 231
[11] Malki Ahmad Nasir, Orientalis dan Sirah Nabi Muhammad Saw: Sketsa awal kerancuan orientalis dalam kajian Islam, dalam ISLAMIA, vol. III, No. 1, tahun 2006, hlm 33.
[12] Arthur Jeffery, The Quest For the historical Mohammed, (New York: Promethues Books, 2000), hlm 338-343.
[13] Rosihan Anwar, Ilmu Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), Cet. 1, hlm 11.
[14] Arif Budiono, Moderasi Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an, JADID: Jurnal of Quranic Studies and Islamic Communication, Vol. 01, No. 1, Maret 2021.
[15] Ahmad Yani, Tujuan Inti Pesan Wahyu Al-Qur’an, ISSN: 2442-6520
[16] Arthur Jeffery, Islam: Muhammad and His Religion, (New York: The Liberal Art Press, Inc, 1958), hlm 47.
[17] Manna’ Khalil al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hal. 03
[18] Nur Fahrizi dan Muhammad Zubir, Historitas dan Otentisitas Al-Qur’an (Studi Komparatif antara Arthur Jeffery dengan Manna’ Al-Qathan), QIST Jurnal of Qur’an and Tafseer Studies, Vol. 1, No. 2, 2022, hlm 213.
[19] M Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib, (Bandung: Mizan Pustaka, 2014), hal 93-94
[20] Arthur Jeffery, Islam: Muhammad and His Religion, (New York: The Liberal Art Press. Inc, 1958) hlm48
[21] Manna’ Khalil Al-Qathan, Ibid., hlm 152
[22] Manna’ Khalil Al-Qathan, Ibid., hlm. 157