Oleh: Dadan Sunandar, L.c., M.A.
Membaca Al-qur’an merupakan ibadah yang sangat disunahkan bagi seluruh muslimin muslimat, karena membaca Al-qur’an memiliki keutamaan yang sangat besar. Diantara keutamaan membaca Al-qur’an, pertama: Al-qur’an akan menjadi Syafa’at dan penolong di hari kiamat untuk para pembacanya. Sebagaimana dalam sebuah hadis nabi bersabda:
عن أَبي أُمامَةَ رضي اللَّه عنهُ قال : سمِعتُ رسولَ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يقولُ : « اقْرَؤُا القُرْآنَ فإِنَّهُ يَأْتي يَوْم القيامةِ شَفِيعاً لأصْحابِهِ » رواه مسلم
Dari Abu Amamah ra, aku mendengar Rasulullah SAW Bersabda: “Bacalah Al-qur’an, karena sesungguhnya ia akan menjadi syafaat bagi para pembacanya di hari kiamat.” (HR. Muslim).
Kedua, Al-qur’an dapat meningkatkan derajat kita di mata Allah.
عن عمرَ بن الخطابِ رضي اللَّه عنهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال : « إِنَّ اللَّه يرفَعُ بِهذَا الكتاب أَقواماً ويضَعُ بِهِ آخَرين » رَوَاهُ مُسْلِمُ
Dari Umar bin Khatab ra. Rasulullah SAW, Bersabda:
“Sesungguhnya Allah SWT. akan mengangkat derajat suatu kaum dengan kitab ini (Al-qur’an), dan dengannya pula Allah akan merendahkan kaum yang lain.” (HR. Muslim).
Semangat dan keinginan istiqomah dapat membaca Al-qur’an setiap hari ini, sering menjadi dilema tersendiri bagi wanita yang sedang haid. Keinginan yang besar untuk dapat membaca namun di satu sisi mereka khawatir hal tersebut dilarang.
Terkait hal di atas, menarik untuk mencari dan membahas pendapat-pendapat para ulama tentang hal tersebut, dan mengetahui Dalil-dalil mereka.
Berikut pendapat para ulama madzhab Fiqih tentang hukum wanita haidh membaca Al-qur’an:
1. Madzhab Hanafi
Secara umum madzhab ini mengaharamkan bagi wanita haidh membaca Al-Qur’an. Hanya saja dalam batasan atau tujuan tertentu mereka memberikan pengecualian. Seperti berdzikir dengan Ayat-ayat Al-qur’an atau membacakan potongan ayat atau kosa kata Al-qur’an. Pengecualian juga bagi wanita haidh yang mengajar Al-qur’an, dibolehkan membacakan Al-qur’an, tapi dengan cara mengeja kata perkata, dan dengan niat hal tersebut sebatas ta’lim.
2. Madzhab Maliki
Madzhab Maliki adalah madzhab yang sering disebut-sebut sebagai yang membolehkan wanita haidh membaca Al-qur’an. Pendapat mereka juga sering dijadikan rujukan atau hujjah oleh berbagai pihak untuk membolehkan wanita haidh membaca Al-qur’an, terutama untuk wanita-wanita yang sedang program tahfizh bisa menyelesaikan hafalannya sesuai target. Meskipun mereka sedang haidh, mereka tetap dibolehkan membaca dan menghafal Al-qur’an serta memuraja’ah hafalan dengan bersandarkan kepada pendapat Madzhab Maliki. Karena jika memakai pendapat jumhur Ulama, sudah tentu membaca dan menghafal Al-qur’an diharamkan.
Sebenarnya apakah benar madzhab ini membolehkan wanita haidh membaca Al-qur’an?
Ibnu Rusyd menegaskan dalam Kitabnya Bidayatul Mujtahid:
فأجازوا للحائض القراءة القليلة استحسانا؛ لطول مقامها حائضا، وهو مذهب مالك.
Meraka Mereka (Ulama Malikiyah) membolehkan wanita haidh membaca sedikit dari Al-qur’an dengan dalil Istihsan, karena lamanya masa haidh. Ini adalah pendapat Madzhab Maliki.
Istihsan adalah Mengecualikan atau berpaling dari hukum umum yang ada, karena suatu kemashlahatan
Al-Qarafi di dalam kitabnya Adz-Dzakhirah menuliskan sebagai berikut :
الثامن في الطراز يفارق الجنب الحائض في جواز قراءة القرآن ظاهرا ومس المصحف للقراءة على المشهور في الحائض لحاجة التعليم وخوف النسيان
Hukum kedelapan: Dalam Kitab Ath-Thiraz : Hukum terhadap wanita haidh dan junub itu tentang kebolehan membaca Al-qur’an ini berbeda, begitu juga menyentuh mushaf. Dalam membaca Al-qur’an, pendapat yang masyhur dalam madzhab adalah dibolehkan bagi wanita haidh untuk kegiatan mengajar dan dan karena takut lupa membaca Al-qur’an.
أما جواز القراءة فلما يروى عن عائشة أنها كانت تقرأ القرآن وهي حائض والظاهر اطلاعه عليه السلام وأما المنع فقياسا على الجنب والفرق للأول من وجهين أن الجنابة مكتسبة وزمانها لا يطول بخلاف الحيض
Kebolehkan bagi wanita haid membaca Al-qur’an, berdasarkan riwayat dari Aisyah bahwasannya Aisyah pernah membaca Al-qur’an dalam keadaan haid, dan itu dengan sepengetahuan Rasulullah.
Adapun larangan membaca Al-qur’an ini terhadap wanita haidh, karena diqiyaskan hukumnya kepada orang junub berdasarkan pendapat pertama (Jumhur), maka ada perbedaan diantara keduanya dari dua segi, karena junub itu adalah seseuatu yang dikehendaki, sedangkan haidh tidak. Kedua, dari segi waktu, haidh waktunya lama, junub tidak selama haidh
3. Madzhab Syafi’i
Dalan hal ini, madzhab syafi’i termasuk madzhab yang sangat ketat melarang wanita haid membaca Al-qur’an. Al-Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut:
في مذاهب العلماء في قراءة الحائض القرآن قد ذكرنا أن مذهبنا المشهور تحريمها ولا ينسى غالبا في هذا القدر ولأن خوف النسيان ينتفي بإمرار القرآن على القلب
Sebagaimana yang telah kami sebutkan terkait wanita haidh membaca Al-qur’an, pendapat yang masyhur dalam madzhab kami adalah haram bagi wanita haidh membaca Al-qur’an.
Adapun masa haid yang berlangsung beberapa hari biasanya, tidak akan sampai membuat seseorang lupa pada hafalannya. Kekhawatiran akan hilangnya hafalan Al-qur’an dapat ditampik dengan menghafal/muraja’ah terus menerus di dalam hati.
4. Madzhab Hanbali
Ibnu Qudamah menuliskan di dalam kitabnya Al-Mughni:
ولنا: ما روى عن عليّ أن النبي- صلى الله عليه وسلم لم يكن يحجبه، أو قال: يحجزه، عن قراءة الشيئ، ليس الجنابة. رواه أبوداود ، والترمذي، وقال: حديث حسن صحيح، وعن ابن عمر، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئا من القرآن. رواه أبو داود، والترمذي
Pendapat kami berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ali: “Tidaklah Nabi melarang seseorang membaca sesuatu pun dari Al-qur’an selama dia tidak dalam keadaan junub”. Hadits Hasan Shahih. Dan Dari Ibnu Umar Rasulullah SAW bersabda: “janganlah wanita haidh dan junub membaca sesuatupun dari Al-qur’an” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)
Penutup:
Setelah membaca dan mengutip pendapat-pendapat para ulama tadi, dapat disimpulkan bahwa, terkait hukum wanita haidh membaca Al-qur’an, ulama fiqih ada sedikit terjadi perbedaan pendapat. Namun keempat madzhab fiqih yang muktamad secara umum mereka melarang, apalagi jika tanpa ada alasan atau hajat tertentu melakukannya.
Jika membaca Al-qur’an saat haidh dimaksudkan untuk doa, dzikir, taklim, atau bertujuan mura’jaah maka sebagian dari mereka masih ada yang membolehkan. Atau hanya membaca sekedar potongan ayat, mengeja kata-perkata, tidak membaca ayat Al-qur’an secara utuh atau sempurna, maka sebagian mereka masih ada yang membolehkan.
Wallahu a’lam.