Oleh: Adih, M.Pd.I
Pernahkah Anda merasa terjebak dalam pusaran emosi yang tak terkendali? Atau mungkin bertanya-tanya, di manakah letak kedamaian batin yang sesungguhnya? Dalam perjalanan hidup yang penuh dinamika ini, kita seringkali hanya fokus keluar diri namun lupa untuk melihat ke dalam untuk mengenali lapisan-lapisan jiwa yang membentuk esensi keberadaan kita. Konsep 3 tingkatan jiwa menawarkan sebuah peta perjalanan spiritual yang menarik, sebuah panduan untuk memahami kompleksitas diri dan potensi evolusi kesadaran. Mengenali setiap tingkatan bukan sekadar menambah wawasan, melainkan sebuah langkah penting menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang motivasi, emosi, dan tujuan hidupkita. Artikel ini mengajak anda untuk menyelami kedalaman diri, menyingkap tabir jiwa dan merenungkan implikasinya dalam perjalanan spiritual dan kehidupan sehari-hari.
Tingkatan pertama yaitu nafsu amarah atau jiwa yang tidak terkendali. Dalam tingkatan ini manusia hidup masih menggunakan naluri binatang. Mereka cenderung reaktif, impulsif, dan mudah dikuasai oleh emosi seperti marah, benci dan keinginan untuk mendominasi bahkan mengeksploitasi dan memanipulasi. Pada tingkatan ini, kesadaran diri masih sangat rendah, dan tindakan lebih didorong oleh pemenuhan kebutuhan fisik dan dorongan primitif tanpa mempertimbangkan akibat jangka panjang atau nilai-nilai moral. Ego pada tingkatan ini masih sangat dominan sehingga individu kesulitan untuk menjalin hubungan dengan sesama.
Lebih lanjut, individu pada tingkatan nafsu amarah ini cenderung mencari kepuasan melalui hal-hal material dan duniawi secara berlebihan atau dapat dikatakan tamak. Mereka terobsesi dengan kekuasaan, status dan pemuasan indrawi tanpa adanya batasan yang jelas. Akibatnya, tindakan mereka seringkali merugikan diri sendiri dan orang lain, menciptakan konflik dan ketidak harmonisan dalam lingkungan sosial. Potensi untuk melakukan kekerasan atau tindakan destruktif juga lebih tinggi pada tingkatan kesadaran yang rendah ini karena kurangnya kontrol diri dan empati.
Selain tamak, iri hati juga berakar dalam diri pada tingkatan nafsu amarah ini. Iri hati terhadap pencapaian orang lain sering kali terjadi secara tidak sadar sehingga menimbulkan ketidak puasan yang mendalam terhadap pencapaian diri sendiri. Individu pada tingkatan ini cenderung fokus pada apa yang tidak mereka miliki dibandingkan dengan mensyukuri apa yang telah mereka raih. Perasaan kekurangan ini kemudian dapat memicu berbagai perilaku negatif, seperti bergosip, merendahkan orang lain atau bahkan sabotase secara halus. Dorongan kompetitif yang tidak sehat dan keinginan untuk selalu lebih unggul dari orang lain menjadi ciri khas dari tingkatan kesadaran ini.
Lebih lanjut, iri hati pada tingkatan nafsu amarah sering kali membutakan individu terhadap potensi dan keunikan yang mereka miliki. Mereka terjebak dalam perbandingan yang merugikan diri sendiri, mengukur keberhasilan berdasarkan standar eksternal dan pencapaian orang lain, bukan berdasarkan nilai dan perkembangan pribadi. Akibatnya, kebahagiaan dan kedamaian batin sulit untuk dicapai karena selalu ada rasa kurang dan persaingan yang tidak berujung. Proses untuk naik ke tingkatan kesadaran yang lebih tinggi memerlukan pengenalan dan penerimaan terhadap rasa iri ini, diikuti dengan upaya sadar untuk mengembangkan rasa syukur dan fokus terhadap potensi diri.
Ciri lain dari individu yang masih dalam tingkatan nafsu amarah yaitu mudah marah. Dalam hal sepele sekalipun biasanya mudah kesal dan marah, bahkan bisa meledak-ledak. Meskipun reaksi kemarahan yang berlebihan ini sering kali muncul karena adanya rasa frustasi yang terpendam, ekspektasi yang tidak terpenuhi, atau perasaan tidak berdaya dalam menghadapi situasi tertentu. Mereka cenderung menyalahkan orang lain atas ketidaknyamanan yang mereka rasakan dan kesulitan melihat peran diri sendiri dalam sebuah konflik.
Kemarahan yang tidak terkendali dapat merusak hubungan interpersonal. Orang lain akan cenderung menjauhi atau bersikap defensif ketika berinteraksi dengan individu yang mudah marah. Akibatnya, komunikasi menjadi tidak efektif dan potensi untuk membangun pemahaman serta kerjasama menjadi sangat kecil. Untuk dapat naik ke tingkatan kesadaran yang lebih tinggi, individu perlu belajar mengenali pemicu kemarahan mereka, mengembangkan kemampuan untuk mengelola emosi secara sehat, dan belajar berkomunikasi secara asertif tanpa harus meledak-ledak. Proses ini melibatkan latihan kesadaran, kesabaran, empati, dan kemampuan untuk melihat suatu permasalahan dari berbagai sudut pandang.
Tingkatan kedua yaitu nafsu lawwamah atau jiwa yang terkendali, yaitu jiwa yang sudah mulai mengendalikan nafsu amarah. Pada tingkatan ini, manusia mulai memiliki kesadaran diri yang lebih baik. Mereka mulai mampu mengenali dorongan-dorongan negatif seperti amarah, iri hati, ketamakan, serta berusaha untuk tidak sepenuhnya dikendalikan oleh nafsu amarah. Munculnya penyesalan setelah melakukan tindakan impulsif menjadi salah satu ciri khas tingkatan ini. Individu mulai mempertimbangkan akibat dari perbuatan mereka dan berusaha untuk memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat.
Proses pengendalian diri pada tingkatan nafsu lawwamah ini belum sepenuhnya stabil. Terkadang, dorongan-dorongan negatif masih bisa muncul dan menguasai tindakan, namun kesadaran untuk kembali ke jalan yang benar dan keinginan untuk berubah menjadi lebih baik sudah mulai tumbuh. Perjuangan internal antara mengikuti hawa nafsu dan menahan diri menjadi dinamika utama dalam tingkatan ini. Individu mulai belajar untuk menunda kepuasan sesaat demi tujuan yang lebih besar dan mulai mengembangkan nilai-nilai moral sebagai pedoman dalam bertindak. Kesadaran akan adanya standar kebaikan dan keburukan mulai terinternalisasi meskipun implementasinya masih memerlukan latihan dan penguatan.
Pada tingkatan nafsu lawwamah ini, individu akan menemui banyak pengalaman dalam proses perjalanan hidup. Pengalaman-pengalaman ini menjadi guru yang berharga dalam melatih
pengendalian diri. Kegagalan dalam menahan amarah atau terjerumus dalam iri hati akan memunculkan rasa tidak nyaman dan keinginan untuk tidak mengulanginya. Sebaliknya, keberhasilan dalam mengelola emosi dan bertindak dengan sabar akan memberikan rasa pencapaian dan memperkuat motivasi untuk terus berkembang. Interaksi sosial juga memainkan peran penting dalam tingkatan ini. Konsekuensi dari tindakan impulsif terhadap hubungan dengan orang lain menjadi pelajaran nyata tentang pentingnya mempertimbangkan perasaan dan perspektif orang lain.
Lebih lanjut pada tingkatan nafsu lawwamah, individu mulai mengembangkan kemampuan untuk merefleksikan diri secara lebih mendalam. Mereka mulai bertanya tentang tujuan hidup yang lebih besar dan nilai-nilai yang ingin mereka anut. Proses pencarian jati diri ini seringkali diwarnai dengan berbagai macam pertanyaan dan keraguan, namun juga membuka pintu menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri dan hubungannya dengan dunia di sekitarnya. Kesadaran akan adanya dimensi spiritual dalam kehidupan mulai tumbuh, meskipun belum menjadi fokus utama. Perjalanan di tingkatan ini adalah tentang belajar dari setiap interaksi, setiap kesalahan, dan setiap keberhasilan dalam upaya menaklukkan ego dan mengendalikan hawa nafsu.
Tingkatan ketiga adalah nafsu mutmainnah atau jiwa yang tenang. Pada tingkatan ini, jiwa telah mencapai kedamaian dan ketenangan yang relatif stabil. Individu tidak lagi mudah dikendalikan oleh gejolak emosi negatif seperti amarah dan iri hati. Mereka telah mengembangkan kemampuan untuk mengelola diri dengan baik dan bertindak berdasarkan pertimbangan akal sehat dan nilai-nilai kebajikan. Penyesalan tidak lagi menjadi pengalaman yang dominan karena tindakan yang diambil cenderung lebih bijaksana dan penuh kesadaran.
Ciri khas dari tingkatan nafsu mutmainnah adalah adanya rasa syukur yang mendalam dan penerimaan terhadap segala ketentuan yang terjadi dalam hidup. Individu mampu melihat hikmah di balik setiap peristiwa, baik suka maupun duka. Mereka tidak lagi terobsesi dengan pemenuhan keinginan duniawi semata, tetapi lebih fokus pada pengembangan diri secara spiritual dan memberikan manfaat bagi sesama. Ketenangan batin yang dirasakan memancar keluar dalam bentuk perilaku yang sabar, penuh kasih sayang, dan welas asih terhadap semua makhluk. Hubungan dengan sesama terjalin harmonis karena adanya pemahaman dan empati yang mendalam. Pada tingkatan ini, ego mulai menipis dan kesadaran akan adanya keterhubungan dengan Yang Maha Kuasa atau realitas yang lebih tinggi menjadi semakin kuat.
Ketiga tingkatan jiwa spiritual manusia ini dapat menjadi panduan bagi kita untuk menjalani proses dalam perjalanan hidup. Dengan memahami ketiga konsep ini diharapkan kita dapat meningkatkan kesadaran terhadap level jiwa kita sendiri. Jika kita masih dominan berada di nafsu amarah di dalam jiwa yang tidak terkendali maka bersegeralah untuk melakukan perbaikan diri sehingga berada di tingkatan yang lebih tinggi yaitu nafsu lawwamah.
Ketika kita berada diposisi nafsu lawwamah atau jiwa yang terkendali, maka kita sudah mulai banyak memperbaiki diri dan menjadikan diri lebih berkualitas. Perjalanan tingkatan ini begitu panjang karena setiap saat pasti kita dihadapkan dengan berbagai problematik kehidupan. Makin sering ujian kehidupan terjadi maka akan semakin mempercepat proses kita berada di tingkatan yang lebih tinggi yaitu nafsu Mutmainnah atau jiwa yang tenang, jiwa yang sudah tidak lagi dikendalikan oleh nafsu amarah sehingga dapat menikmati kedamaian dalam perjalan hidup ini.
Tingkatan jiwa spiritual kita dinilai oleh kita sendiri bukan berdasarkan penilaian dari orang lain karena hanya diri kita sendirilah yang dapat menyadarinya. Begitu juga sebaliknya kita tidak berhak menilai tingkatan jiwa seseorang karena penilaian terhadap orang lain akan menjebak kita masuk kembali kedalam nafsu amarah. Fokuslah untuk memperbaiki kualitas diri sendiri sehingga energi positif akan menular kepada orang-orang disekeliling kita. Tanpa bersusah payah menjelaskan, maka akan menjadi magnet kebaikan bagi orang-orang disekeliling kita.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua dan menjadikan diri kita lebih berkualitas.